Sabtu, 09 Juni 2012

REALISME DAN TUMBUHNYA ORGANISASI SENIMAN


vTumbuhnya Organisasi Seniman
      Pada abad ke-18 sampai pertengahan abad ke-19 sulit di ketahui perkembangan seni lukis dengan media kertas atau kain ( kecuali batik ), selain itu ada beberapa bukti lukisan – lukisan wajah pejabat – pejabat colonial, bangunan – bangunan kantor pemerintahan dan rumah – rumah pejabat, yang semuanya merupakan lukisan pesanan.Baru kemudian menjelang Perang Dunia ke-2 ditandai dengan kedatangan pelukis-pelukis Eropa ke Indonesia seperti Niuwenkamp, Wolter Spies, Rudolf Bonnet yang masing – masing dengan jelas membawa aliran- aliran seni lukis seperti Kubisme, Ekspresionisme, Surialisme atau Simbolisme.
      Raden Saleh, Affandi, Basuki Abdullah dan lainnya, juga mendapat pengaruh darigayagaya lukisan yang dikembangkan oleh pelukis-pelukis Eropa itu. Para kritikus seni mungkin berbeda pendapat dan dapat membela pelukis – pelukis Indonesia dengan mengatakan bahwa mereka tidak terpengaruh oleh pelukis – pelukis Eropa itu, tetapi yang jelas ada masa revolusi bahkan sampai tahun 1960-an jarang sekali buku – buku seni yang masuk ke Indonesia.
    Sesungguhnya perkembangan seni lukis modern di Jawa diawali dengan munculnya “ Kelompok Lima” di Bandung pada tahun 1935 yang merupakan wadah bagi anak – anak muda untuk belajar menggambar dan melukis. “Kelompok Lima “ ini dipimpin oleh Affandi dengan anggota – anggotanya Hendra Gunawan, Barli, Soedarso, dan Wahdi. Mereka tidk mempunyai guru, target lukisannya juga belum jelas, serta masih dalam taraf coba – coba, yaitu dengan praktek menggambar langsung dan mereka juga belum menguasai teknis melukis serta anatomi. Mereka umumnya membuat reproduksi foto – foto, spanduk atau iklan – iklan film
   Pada tahu 1937 di Jakarta dibentuk PERSAGI ( Persatuan Ahli Gambar Indonesia ) yang beranggotakan antara lain Agus Djaja, Emiria Sumarsa, Otto Djaja, Mochtar Apin, dan Soedjojono. Ternyata pada masa pendudukan Jepang keberadaan PERSAGI tetap dipertahankan oleh pemerintah militer Jepang. Jepang mempunyai kepentingan terhadap keberadaan PERSAGI sebagai alat untuk propaganda. Oleh karena itu, kebebasan berekspresi masing – masing seniman mendapat peluang besar untuk berkembang. Pemerintah militer Jepang memprakarsai Pusat Kebudayaan yang di dalamnya antara lain terdapat sarana untuk berkarya seni lukis yang dibagi menjadi tiga kelompok berlatih. Masing – masing kelompok itu dipimpin oleh Basuki Abdullah, S. Soedjojono, dan Soebanto Soerjo Soebandrio. Hal itu yang menyebabkan persagi berpngaruh terhadap perkembangan seni supa di Indonesia.
      Semangat yang dicanangkan Jepang untuk membangun ‘Kebudayaan Timur’ mendapat tanggapan positif. Hal itu terbukti dari keterlibatan para pelukis pribumi dalam membina seni lukis Indonesia. Diantara mereka yang berperanan cukup penting adalah S. Sudjojono, Agus Djaja, dan Affandi yang kemudian memunculkan sejumlah pelukis muda diantaranya Otto Djaja, Henk Ngatung, Hendra Gunawan, Djajengasmoro, Kartono Yudhokusumo, Kusnadi, Sudjana Kerton, Trubus,Baharuddin, dan sejumlah seniman lainnya.Pada tahun yang sama, Djajengasmoro juga mendirikan Pusat Tenaga Pelukis Indonesia yang secara progresif mendukung perjuangan untuk mengusir sisa – sisa kolonialisme Belanda dari bumi Indonesia melalui Lukisan, poster, spanduk dan media lainnya.
     Menginjak tahun 1946 di era kemerdekaan dan Revolusi fisik, para pemimpin perjuangan pada waktu itu memiliki kesadaran bahwa seni lukis dapat berperan dalam mendukung dan mendokumentasikan perjuangan. Hal itu ditunjukkan oleh hijrahnya sejumlah pelukis bersama jajaran pemerintahan pusat dari Jakarta ke Yogyakarta. Pada tahun 1946 itu pula, Affandi, Rusli, Hendra, dan Harijadi membentuk Perkumpulan Seni Rupa Masayarakat. Kemudian mereka bergabung dengan Sudjojono untuk mendirikan organisasi Seniman Indonesia Muda ( SIM ) pada tahun 1947.
   Keanggotaan SIM meluas dengan masuknya sejumlah seniman seperti Abdul Salam, Sudibio, Kartono Yudhokusumo, Oesman Effendi, Srihadi Sudarsono, Zaini, dan lain – lain.kelak sebagian besar anggota SIM ini menjadi seniman terkemuka Indunesia. Dalam mendukung perjuangan bangsa Indonesia, para anggota SIM giat membuat lukisan dan poster bertema perjuangan serta menerbitkan majalah kebudayaan bernama ‘Seniman’ yang kemudian menarik para penulis seperti Anas Maarui, Trisno Sumardjo, Wiratmo Sukito, Usmar Ismail, dan lainnya.
   Namun karena selisih paham, pada tahun 1947, Hendra Gunawan dan Affandi meninggalkan SIM dan mendirikan ‘Pelukis Rakyat’. Kemudian bergabung pula Sudarso Setjojoto, Kusnadi, Trubus Soedarsono, Sumitro, Saaongko, dan lain –lainnya. Parapelukis yang tergabung dalam SIM dan para pelukis yang tidak seidiologi memisahkan diri dan bergabung dengan Gabungan Pelukis Ideologi (GPI) yang didirikan oleh Affandi dan Sutiksna di Jakarta pada tahun 1948. Di antaranya adalah Oesman Effendi dan Zaini. Sekitar tahun 1949 seniman – seniman muda, seperti Abas Alibasjah, Sajono, Edhi Soenarso, Rustamadji, Juski Hakim, Chairul Bachri, Sutopo, Ali Marsaban, Nasir Bondan, Sasongko, Djoni Trisno, dan beberapa seniman lainnya bergabung mendirikan sanggar yang bertujuan memberikan kesempatan bagi seniman – seniman muda untuk mengembangkan bakat – bakatnya. Tema – tema perjuangan pada masa revolusi  dan kebebasan berekspresi tanpa terikat dengan kaidah – kaidah tertentu pada masa sesudah revolusi mewarnai perkembangan seni lukis di Indonesiayang sudah berkembang kea rah profesi baru .
      Pada tahun 1950, Kusnadi, Sumitro, Sasongko memisahkan diri dari ‘Pelukis Rakyat’ dan bergabung dengan ‘Pelukis Indonesia’ yang anggotanya antara lain Bagong Kusudiardjo dan Sholihin.
   Selain di Yogyakarta, perkumpulan pelukis juga didirikan di kota – kota besar lain.Seperti ‘Jiva Mukti’ yang dibentuk pada tahun 1948 dengan anggota antara lain Barli, Mochtar Apin, Karnedi, dan lain – lain.Pada tahun 1952 di Bandung didirikan pula ‘Sanggar Seniman’ oleh But Muchtar, Srihadi, A.D.Pirous, Kartono Yudhokusumo, dan kawan – kawan.
      Kemudian di Surabaya dibentuk ‘Pelangi’ pada tahun 1947 oleh Suiarko. Di Jakarta didirikan Yayasan Seni dan Desain oleh Oesman Effendi, Trisno Sumardjo, Zaini pada tahun 1958. ‘Matahari’ didirikan oleh Mardian, Wakidjan, Nashar, Alex Wetik. Kemudian di Yogyakarta sendiri berdiri ‘Sanggar Bambu’ yang dibentuk oleh Muljadi, Handogo, Danarto, dan kawan – kawan pada tahun 1959. Masih banyak lagi perkumpulan seniman bermunculan di berbagai kota besar sebagai pusat para pelukis bekerja dan bertukar pikiran.
      Pada tahun 1970-an ketika “ Boom Lukisan” mewarnai jagad seni lukis di Indonesia, telah mengantarkan para seniman lukis ke pintu ujian citra berkesenian mereka. Affandi dan Basuki Abdullah mampu mengimbangkan tuntunan pasar dengan kreativitas dan mutu keseniannya tetap berdiri kokoh sebagai “ Maestro” sementara itu beberapa seniman lukis jatuh pada kepentingan pasar yang sekedar hanya melukis.
      Gaya dan muatan estetik karya seni rupa pada masa berikutnya memiliki kecenderungan :
ü mengungkapkan objek secara emosional ( ‘Realisme’ ) yang dicirikan terdapatnya upaya ubahan bentuk, proporsi, ataupun warna, dan kerap terjadinya distorsi karena ungkapan yang emosional tersebut. Tema yang dipilih, dapat berupa tema keseharian, perjuangan, penderitaan rakyat ataupun kritik terhadap situasi.  
ü lukisan yang lahir dari dunia fantasi berupa citra mimpi, mitos, legenda, mistis, dunia supranatural, luar akal, satir, naïf, simbolis, dam sebagainya.
ü memiliki kecenderungan bersifat dekoratif menampilkan berbagai objek alam, daun, bunga, wanita, binatang yang dibuat secara ‘ornamental’, rinci, dan kerap bersifat dua dimensional seperti lukisan tradisional Bali.
   Perkembangan seni lukis di Indonesia akhir – akhir ini semakin marak dengan munculnya seniman – seniman lukis “baru” baik itu dari kalangan birokrat, militer, kaum professional, ibu – ibu pejabat maupun konglomerat.

v Realisme Kerakyatan di Yogyakarta
               Sejak Revolusi Fisik tahun 1946 dan kepindahan ibu kota ke Yogyakarta, sejumlah pelukis juga ikut hijrah ke Yogyakarta. Para pelukis yang hijrah ini kemudia menetap di Yogyakarta dan banyak berkarya dengan tema – tema perjuangan. Setelah situasi nasional mulai membaik dan pusat pamerintahan dikembalikan ke Jakarta, para pelukis yang tinggal di Yogyakarta ini mulai melukis dengan tema – tema yang mengkritik perkembangan keadaan social yang timpang. Gaya yang dianut oleh sejumlah pelukis Yogya tersebut dikenal sebagai Realisme Kerakyatan. Adapula yang menyebutnya sebagai Realisme Sosial.
               Para pelukis tersebut mendirikan organisasi seniman pada tahun 1950 yang dikenal sebagai “ Pelukis Rakyat”. Organisasi ini semakin berkembang karena memiliki hubungan erat dengan tokoh pemerintahan, sehingga memperoleh banyak pesanan karya lukisan, patung, dan relief untuk gedung – gedung pemerintahan. Selain itu, perkumpulan inipun memiliki hubungan yang erat dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat ( LEKRA ) yang didirikan pada tahun 1950. Pada waktu itu lembaga ini amat berpengaruh dalam menentukan arah kebudayaan nasional.
               Kepedulian para seniman Yogyakarta terhadap penderitaan masyarakat amatlah tinggi. Hingga, pada periode selanjutnya ‘jiwa kritis’ yang telah menjadi cirri seniman Yogya pada umumnya tetap tumbuh pada sejumlah seniman generasi baru. Merika tetap konsisten mengekspresikan fenomena social yang terjadi di sekitarnya.

v Mazhab Bandung
   Sejak didirikannya Balai Pendidikan Guru Gambar dilingkungan Technise Hogeschool ( sekarang ITB ) pada tahun 1949 di Bandung, berkembanglah seni rupa lingkungan akademis. Pada tahun 1953, atas bimbingan Reis Mulder seorang pelukis belanda, Achmad Sadali, Hut Mukhtar, Mokhtar Apin, dan para mahasiswa lainnya melakukan experiment dengan merombak objek likisan ke menjadi pola geometris dan membagi bagi bidang datar sesuai dengan komposisi garis dan warna. Meskipun demikian objek lukisannya masih terlihat samar seperti halnya objek gambar dilihat melalui tabir kaca kristal. Pada waktu yang sama Oesman Effendi juga melakukan hal yang sama di JakartaGaya semacam ini juga pengujian menjadi ciri khas para pelukis yang belajar di ITB. Kelompok ini, oleh sejumlah peukis beraliran Realisme dianggap sebagai gaya estetis hasil ‘ Laboratorium Barat’.
   Selanjutnya, berkembang gaya abstrak di lingkungan seniman ITBGaya ini dapat dikategorikan atas dua kelompok :
1.  Gaya abstrak tanpa objek, tetapi lebih menekankan kepada olah bahasa rupa dan imajinasi si pelukis. Gaya lukisan abstrak ini amat variatif, mulai dari model pengamatan bumi dilihat dari angkasa, detil tebing yang mengalami korosi, pelapukan batang kayu, permainan bidang geometris, ataupun hanya experiment berdasar imaji rupa si pelukis.
2.  Adalah abstrak non-figuratif, berupa bentuk – bentuk figure yang mengalami pengabstrakan. Dalam beberapa segi masih terlihat unsure figure yang dijadikan objek, namun terlihat samara atau bermakna konotatif meskipun telah mengalami perubahan bentuk dari wujud aslinya.
  Pada tahun 1963, Achmad Sadali mulai meningkatkan teknik melukisnya melalui penggunaan warna akrilik dan permainan tekstur yang dibentuk melalui penggelembungan, penempelan, penyobekan, pengikisan, pengirisan, pengelupasan, dan pelbagai teknik melukis yang tidak lazim di zamannya. Kemudian diikuti oleh penggunaan warna emas, kaligrafi Arab, symbol – symbol geometris pegunungan, juga tempelan kain pada bidang kanvas. Lahinya lukisan tiga dimensional berupa penempelan bantalan merupakan gaya yang lahir dari experiment nya yang tak pernah habis. Selanjutnya ia menerapkan cara melukis sapuan kuas tipis horizontal yang diilhami oleh pelukis Matt Rotkho. Ini kemudian menjadi cirri khas lukisan – lukisannya.
  Gaya seni lukis abstrak, meskipun tak sepenuhnya merujuk pada gaya yang dikembangkan oleh Achmad Sadali sempat menjadi kecenderungan para pelukis akademik di kota Bandung. Hal itu seperti terlihat pada lukisan A.D. Pirous, Umi Dachlan, dan Heyi Makmun sebagai generasi yang labih muda.
  Di era 1970-an, para pelukis Bandung mengembangkan gaya abstrak tersendiri yang lebih ekspresif dengan objek yang masih dapat ‘terbaca’. Beberapa pelukis tersebut antara lain Popo Iskandar dan Srihadi Sudarsono. Sebagian lagi tetap konsisten dengan gaya abstrak yang lebih rasionalistis , kemudian dikenal sebagaigaya abstrak geometris. Beberapa diantaranya adalah Mochtar Apin, But Muhtar dan Rita Widakdo dalam seni patung.
  Sunaryo, G. Sidharta, Hariadi Suadi, T. Sutanto, dan lain – lain pada kurun tahun 1970 – 1980-an mulai memadukan citra seni rupa tradisional pada beberapa karyanya yang masing – masing memiliki keunikan sendiri – sendiri. Sunarya mengeksplorasi citra Irian pada patung – patungnya, G. Sidharta mengeksplorasi citra “ Jawa” pada patung – patungnya, dan Hariadi Suadi mengeksplorasi citra mistik “ Cirebon” pada karya cetak saring
  “Mordenisme” di Bandung atau “Mazhab Bandung” dalam dunia kesenirupaan generasi berikutnya, mencoba mengawinkan antara unsure geometris dengan citra tradisional, unsur mistis dan material alami. Hal itu bisa terlihat pada diri Sunaryo dengan pencitraan “ Irian”, hariadi Suardi dengan pencitraan “Cirebonan”, Sutanto dengan karya grafis bercitra mistis, serta Setiawan Sabana dengan unsure pelapukan dan citra material alam.       

2 komentar: